My Choice

pinterest


"Jadi kamu merasa bangga udah jadi yang paling banyak alpanya di kantor?"

Senyuman yang tadinya ada di wajah perempuan itu mendadak hilang. Padahal tadi dia bercerita dengan senyuman menghias wajahnya. Aku seperti biasanya hanya memerhatikannya dari belakang meja kasir.

"Ya engga, lah."

"Masak?"

Perempuan itu memutar bola matanya.

"Padahal kosanmu kan deket dari kantor. Bisanya telat?"

"Sengaja."

"Sengaja?"

"Iya. Habis kan di tempat kerjaku itu pulangnya pastiiii molor. Kadang nggak ada kerjaan juga, kalo si bos pulang telat, ya aku nggak bisa pulang."

"Kok gitu?"

"Ya emang gitu," jawab perempuan itu. "Makanya, aku tuh sengaja. Kan kewajiban jam kerjaku setiap harinya cuman sekitar tujuh setengah jaman. Sedangkan setiap hari aku pulangnya telat terus. Nggak dapet lembur lagi."

"Ya kenapa kamu nggak pulang aja kalo emang udah jam pulang dan kerjaanmu udah kelar?"

"Nggak bisa. Ditempatku nggak bisa kayak gitu."

"Nggak bisa apa nggak mau?"

"Nggak bisa. Nanti kalo berani pulang duluan bakal disindir-sindir."

"Oh, berarti nggak berani."

"Jangan samain kamu dong! Atasanmu kan beda. Kamu mau pulang duluin dia juga nggak papa. Makanya kamu berani pulang duluan, berani selalu pulang tepat waktu. Di tempatku nggak bisa kayak gitu!"

"Oh. Oke." Si laki-laki menganggukkan kepalanya. "Cuman yah jujur aja aku kecewa sih sama pilihan kamu buat selalu telat ke kantor, sengaja telat cuman karena alasan itu. Kenapa nggak milih buat perjuangin hak kamu dengan cara yang lebih... yah.. benar. Kamu kan tahu aturan tidak dibuat untuk dilanggar."

"Ini hidupku. Aku yang jalanin dan aku milih gitu." Suara perempuan itu ketus.

Mereka lantas diam. Sesaat.

"Atasanku itu beda sama atasanmu." Sebelah tangan perempuan itu mengaduk-aduk gelas yang berisi es kopi. "Dia itu keras dan semua hal harus sesuai dengan keinginannya." Perempuan itu mengambil jeda. "Kau ingat waktu aku membolos pas kita mudik terakhir kemarin?"

"Ya."

"Waktu rapat bagian, masalah itu diungkitnya. Dia memarahiku di depan semua orang. Aku tak suka. Kesal sekali rasanya. Malu. Campur aduk. Menyebalkan. Sampai menangis aku."

"Menegurmu. Demi kebaikanmu juga. Karena kan memang di kantormu itu jumlah alpa pegawai memengaruhi nilai bagian. Semuanya."

"Ya apa pun itu.. Dan ya aku tahu dia melakukan itu demi pegawai. Aku tahu aku salah. Tapi ya nggak kayak gitu dong caranya."

"Bukannya tadi kamu bilang itu pilihanmu?"

"Hmm?"

"Iya. Bukannya kamu bilang kalo apa yang kamu lakukan adalah pilihanmu? Kamu memilih. Kamu yang memilih. Dan kamu manusia dewasa. Dan manusia dewasa itu adalah manusia yang sadar risiko. Kamu sudah tahu atasanmu seperti itu wataknya. Dan kamu tetap memilih untuk melanggar aturan. Ya harusnya kamu tahu risiko apa yang bakal kamu terima atas pilihanmu. Ya harusnya kamu terima dong. Kan kamu sudah memilih. Jangan lagi kamu bercerita seolah-olah kamu ini korban."

Entah emosi apa yang sedang memenuhi wajah perempuan itu. Waktu aku melirik ke arahnya, sepertinya semua rasa teraduk di dalam wajahnya. Tanpa rasa bahagia tentunya.

"Sama juga ketika kamu sudah milih buat nggak berani pulang tepat waktu. Buat milih nunggu atasanmu pulang walaupun kamu nggak ngapa-ngapain. Ya harusnya kamu nggak ngeluh dong. Kan kamu sudah milih."

Perempuan itu membuang muka ke luar jendela di sisinya.

"Gampang kamu bilang gitu. Kamu kan nggak ngerasain kerja di kantorku. Kamu tuh nggak tahu gimana rasanya jadi aku." Suara perempuan itu kali ini pelan, lebih pelan dari sebelumnya.

"Jadi aku nggak pantas memberikan masukan?" tanya laki-laki itu.

"Kamu nggak berhak menilai aku."

"Tapi kamu berhak menilaiku walaupun kamu juga nggak merasakan bagaimana menjadi aku," balas laki-laki itu dengan nada yang masih saja setenang sebelumnya. "Look, ini hidupmu, pilihanmu. Iya. Tapi aku sayang kamu. Aku cuman nggak mau kamu menikmati sesuatu yang salah. Kita sama-sama tahu melanggar aturan itu salah dan aku nggak mau kamu terbiasa lalu mulai merasa menikmatinya."

Perempuan itu mulai menoleh, kembali memandangi laki-laki yang ada di hadapannya.

"Aku juga nggak mau kamu menjadi wortel. Aku masih ingat betapa idealisnya kamu ketika mulai bekerja dulu. Aturan adalah aturan. Aturan bukan sesuatu yang dibuat untuk dilanggar. Begitu kan kamu bilang dulu? Lalu sekarang ke mana dia? Berubah menjadi wortel. Lembek. Aku nggak mau kamu kayak gitu, Dek. Kamu itu kuat. Perjuangkan hakmu dengan cara yang benar. Bukan kayak gini. Jadilah berani. Jadilah kopi."

Ada air mata yang menetes menuruni pipi perempuan itu.

"Aku sendirian di sana, Mas."

"Nggak. Kita nggak pernah sendirian. Inget kan gimana bapak sama ibuk selalu nasehatin kita buat berani waktu kita masih kecil dulu? Kita nggak pernah sendirian. Ada Alloh yang selalu bersama kita. Iya kan?"

Aku tersenyum lalu mengapus setetes air mataku yang bergulir menuruni pipi.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil