Seperti Matahari

photo source: randomphotography101.wordpress.com


Aku meletakkan cangkir yang berisi teh hangat ke atas meja teras. Teh tanpa gula. Kesukaanmu. Kamu yang tadinya sedang berlatih pernapasan langsung berbalik dan mengembangkan sebuah senyuman.

"Kok udah?" tanyaku sambil menjatuhkan diri ke salah satu kursi kayu yang ada di teras.

"Udah." Kamu mendatangiku, sesaat mengecup keningku sebelum kemudian duduk dan menikmati teh.

"Hari ini akan cerah," gumamku seraya memandangi langit pagi yang membentang di depan kita, yang menjadi latar dari sawah dan pepohonan.

"Tak harus menjadi cerah."

Aku mengerutkan dahi.

"Cerah atau tidak, seharusnya tak perlu menjadi masalah. Iya, kan?" katamu.

Aku tersenyum, mengiyakan. Kamu memang selalu seperti itu. Entah bagaimana caranya dulu Tuhan membuatmu, membuat hatimu, membuat otakmu. Manusia aneh. Manusia kok tak pernah mengeluh.

"Apa?" tanyamu, mempertanyakan kedua mataku yang tak berhenti memandangimu dan senyumku yang terulas karenanya.

Aku menggeleng pelan lalu kembali memandangi jejak warna matahari yang ada di langit pagi di hadapan kita.

"Dia pernah bosan tidak ya?" tanyaku. "Harus bersinar setiap hari, menghangatkan bumi dan manusianya yang seringnya tak tahu terima kasih."

"Hmm?"

"Iya. Manusia tak tahu terima kasih. Padahal kan gara-gara sinar matahari mereka dapat kehangatan. Gara-gara sinar matahari pepohonan bisa melakukan fotosintesis lalu menghasilkan oksigen untuk mereka. Tapi tetaaaap saja mereka mengeluh. Jika hari cerah, mereka akan mengeluhkan sinarnya yang menyengat, 'panas,' katanya. Tapi jika hujan turun dan tak ada matahari, mereka mengeluh juga. Jemuran tak kering lah, basah lah, gampang flu lah."

Kamu tersenyum memandangiku.

"Kalo aku jadi matahari, pasti sudah malas aku menyinari bumi yang isinya manusia-manusia seperti itu," lanjutku.

"Mencintai bukannya memang harus seperti itu?" tanyamu.

"Mencintai?"

Kamu mengangguk dan tersenyum. "Mencintai itu seperti itu: ikhlas. Menjalankan tugas dengan ikhlas. Memberikan manfaat dengan ikhlas. Tak peduli respon apa yang mungkin akan didapatkan. Mencintai seharusnya seperti matahari. Ikhlas."

"Tunggu.. Tunggu.." Aku mengarahkan telapak tanganku padamu, memberi tanda agar kamu berhenti sebentar. "Ini kenapa jadi membahas mencintai dan keikhlasan? Apa hubungannya matahari dengan semua itu?"

"Mencintai itu seharusnya seperti matahari. Ikhlas."

"Dia mencintai siapa memangnya? Manusia?"

Kamu menggeleng pelan dan tersenyum. "Alloh," katamu. "Satu-satunya alasan kita ketika mencintai. Seharusnya."

Aku makin tak paham.

"Bukannya kamu bertanya apakah matahari pernah merasa bosan? Jawabannya tentu tidak. Karena dia mencintai Alloh dan Alloh yang menugasinya untuk bersinar setiap pagi, untuk menghangatkan bumi, membantu fotosintesis seperti yang kamu bilang tadi. Dia tak akan peduli pada yang lain. Yang dia pedulikan itu hanya cintanya, Alloh. Bukan penilaian dan apa kata manusia yang penting baginya. Tapi penilaian dan apa kata Tuhannya."

"Ah kamu ini... Sudah-sudah. Pasti selalu panjang jadinya." Aku berdiri, menunjukkan muka malas yang kubuat-buat.

Kamu tersenyum lagi, mengulurkan sebelah tanganmu.

"Apa?" tanyaku, sok tak peduli dan tak ingin menyambut uluran tanganmu.

"Alloh memilihkan kamu buatku," katamu. "Dan aku mencintai-Nya. Jadi aku juga tak akan pernah bosan padamu, mencintaimu, tak peduli apa kata orang, tak peduli setiap hari kamu mengeluhkan segala hal. Apalagi karena kamu, setiap hari aku semakin jatuh cinta pada Alloh-ku. Jadi...." Kamu mengambil jeda dan wajahku rasanya mulai panas oleh malu yang tiba-tiba. "Tenang saja. Aku akan mencintaimu seperti matahari itu."

Lalu kata-kata dan segala pura-pura menguap hilang entah ke mana.

#SepertiMatahari


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil