Tak Cukup

Pinterest



Laki-laki itu melangkah masuk tepat setelah pelanggan yang baru saja selesai bertransaksi denganku melangkah keluar melewati pintu.

"Biasa," katanya begitu sampai di hadapanku.

Aku tersenyum dan mengangguk. Lalu mulai meramu kopi hitam seperti yang biasa dia pesan jika datang kemari.

"Jaga dobel lagi?" Aku meletakkan pesannya di meja yang ada di hadapannya.

Laki-laki itu mengangkat kedua alisnya dan memaksakan senyuman.

"Life is not fair."

"Hmm?" tanyaku. Tak begitu yakin dengan apa yang baru saja kudengar.

"Ya. Hidup. Hidup ini memang tak adil. Tuhan memang tak adil."

Kata-kata itu berhasil mencegah langkahku.

"Ada orang yang nggak perlu kerja keras tapi segala keperluannya terpenuhi. Enak sekali. Warisan orang tuanya banyak. Mau apa-apa tinggal tunjuk.. Tapi ada juga yanh kayak aku ini. Harus kerja keras. Harus siap diperes habis tenaganya dulu baru bisa nyukupin kebutuhan hidup. Sampe mati nanti juga bakal kayak gini kayaknya."

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku, masih tak beranjak dari tempatku berdiri.

Laki-laki itu mengeluarkan bungkus rokok, menarik satu batang dari dalamnya, lalu mulai menyulut ujung rokok dan menikmati asapnya.

"Sudah sarapan?" tanyaku.

"Sudah. Dapat jatah sarapan di tempat kerja."

"Kalo nanti, mau makan siang apa?"

"Peduli apa kamu?"

"Tapi ada kan? Bisa kan nanti kau makan siang. Dan aku yakin kau juga mampu sekali untuk mendapatkan makan malam. Kau punya rumah. Tubuhmu sehat dan kau bisa bekerja setiap hari."

"Kau mau bilang apa sebenarnya?"

"Bukan hidup tak adil. Bukan Tuhan tak adil. Kau hanya merasa tak cukup dengan apa yang kau punya sekarang."

"Ya kan memang tak cukup. Harus kuirit-irit buat bisa makan."

"Pantas saja Tuhan tak menambah nikmatmu."

"Hei hei hei.. Apa maksudmu?"

"Bersyukurlah, maka akan kutambah nikmatmu." Aku tersenyum lalu meninggalkannya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil