Haram



"Memilih pemimpin kafir itu haram hukumnya!" katanya dengan begitu bersemangat. "Lihat ini," katanya lagi. "Kata ulama ini, beliau ini ulama besar loh. Kata beliau juga sama. Haram."

"Iya. Memang. Kan jelas memang di Al Quran," balas kawannya dengan tenang. "Tapi ngomong-ngomong, masih kau rayakan Maulid Nabi?"

"Tentu."

"Kata ulama itu, yang baru saja kau kutip tadi itu, merayakan maulid masuk bid'ah loh. Bid'ah dalam masalah agama itu... Yah, kau tahu, kan?"

"Itu kan bukti cintaku padanya, pada Rasulku."

"Jika benar mencintai, bukannya seharusnya mengikuti contohnya? Tak mengurangi atau pun menambahi? Beliau tak merayakan hal itu. Para sahabat juga tidak loh. Dan kita berdua tahu dengan pasti cinta kita pada beliau itu jauuuuuh sekali jika dibandingkan dengan cintanya para sahabat."

"Halah. Kamu itu tahu apa? Memangnya sudah bener hidupmu? Sholat saja masih suka terlambat, belum juga benar kau tutup itu aurat. Bisanya sok menasehati soal agama."

"Maaf, teman. Aku bukan ingin menasehati. Aku mempertanyakan saja sebenarnya kita ini benar-benar mau mengikuti agama dengan benar, mengikuti anjuran ulama yang benar atau tidak. Jika iya, lantas mengapa kita memilih-milih? Hanya anjuran yang sesuai dengan keinginan kita saja yang kita ikuti? Sedangkan yang tak sesuai dengan kita, yang berusaha mengubah kebiasaan kita yang salah, kita abaikan. Apa memang benar harus seperti itu?"

Aku melirik ke arah dua orang yang mejanya ada paling dekat dengan kasir itu. Kedua tanganku sibuk menyiapkan segelas es kopi yang baru saja dipesan. Sama dengan otakku. Dia juga sedang sibuk mengolah pesan yang terselip dalam pertanyaan terakhir itu. Karena aku pun sama. Hanya mengikuti apa kata ulama jika itu sesuai keinginanku dan membuatku senang. Jika tidak? Aaaah..

#Haram



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil