Listen



"Ma..." Anak kecil yang didudukkan di troli belanjaan itu berusaha menggapai mamanya yang sedang memerhatikan barang belanjaannya yang sedang dihitung oleh petugas kasir.

"Tunggu." Dia tak menoleh. Tak acuh. Lebih memilih memerhatikan barang-barang belanjaannya.

"Mama.. Mama.." Anak kecil itu berusaha berdiri, tapi tak bisa. Jadi dia terus bergerak dan menarik-dorong pegangan yang ada di hadapannya, menimbulkan suara cukup ribut.

Aku sudah hampir melangkah dan berusaha menenangkan anak laki-laki itu. Tapi tiba-tiba mamanya menoleh, kedua matanya menatap tajam pada anaknya.

"Adek, diam! Jangan nakal. Tunggu mama selesaikan ini dulu!" katanya dengan nada tinggi.

Aku menghela napas, memilih untuk membuang muka. Aku tak suka setiap kali melihat anak kecil dibentak. Apalagi tanpa ditanya terlebih dahulu apa maunya.

Anak kecil itu tetap menarim dorong pegangan di hadapannya. Tetap membuat suara ribut dan terus bergerak.

"ADEK!" Suara mamanya semakin keras, nadanya semakin tinggi. "JANGAN NAKAL DONG! DIAM DULU BIAR MASNYA SELESEIN HITUNG INI!" katanya lagi.

Aku mulai menggaruk daun telinga kiriku. Entahlah. Aku membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan perhatianku.

Suara ribut itu berhenti. Anak kecil itu tak lagi bergerak, tak juga menarik dorong pegangan di hadapannya, tak juga mengatakan apa-apa. Tenang. Terlalu tenang. Lalu tiba-tiba ada air yang tersiram ke lantai, membuatky terpaksa memundurkan langkah. Kelegaan tampak di wajah anak kecil yang baru saja mengeluarkan semua isi kandung kemihnya itu.

"YA AMPUN, ADEK!! KENAPA PIPIS DI SINI, SIH? NAKAL! KENAPA NGGAK BILANG SAMA MAMA KALO MAU PIPIS, HAH!" Wanita itu menarik anaknya dari troli belanja, menurunkannya ke lantai, lalu mulai memukul lengan kiri anak laki-laki itu dengan keras, membuat sebuah suara tangisan lantas terdengar.

"Bu, anaknya jangan dipukul." Laki-laki yang tadinya berdiri di belakang kasir itu tiba-tiba sudah ada di hadapanku, menarik anak laki-laki yang sedang dipukul itu, menyembunyikannya di belakang tubuhnya.

"Jangan ikut campur ya, Mas. Dia anak saya. Saya wajib mendidiknya." Wanita itu berusaha menarik anaknya. Tapi laki-laki itu mencegahnya.

"Saya baru akan menyerahkan anak ibu jika ibu berjanji tidak akan memukulnya."

"Heh, nggak usah ikut campur urusan keluarga saya ya? Anak saya itu nakal, harus dihukum! Siniin!"

"Bu, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Anak ibu beberapa kali berusaha mengatakan sesuatu pada ibu tadi. Tapi ibu yang tak mau mendengarkan, ibu mengabaikannya. Dia masih balita, Bu. Memangnya dia akan bisa apa ketika ibu meletakkannya di troli seperti tadi?"

Aku sebenarnya ingin berbicara, ingin membela laki-laki itu. Tapi, ah. Aku ini terlalu pengecut. Jadi aku hanya diam dan menurut ketika diminta untuk pindah ke kasir di sebelah. Walaupun kepalaku penuh dengan ribuan kata yang begitu siap untuk kutumpahkan.

"Maaf. Saya tidak pernah berniat untuk ikut campur." Suara laki-laki itu masih bisa kudengar dari kasir sebelah walaupun dia berusaha berbicara dengan pelan. "Saya hanya tidak bisa melihat anak kecil dipukul oleh orang tuanya. Cukup saya saja yang harus merasakan betapa sakitnya dipukul oleh orang tua terlebih ketika kita tidak melakukan kesalahan. Itu tidak akan mendidiknya, Bu. Itu hanya akan membuat dia membenci ibu. Saya hanya tak mau..." Suara laki-laki itu melemah. Dia tak melanjutkan ucapannya.

Aku menoleh ke arah kasir yang tadi kutinggalkan, ke arah laki-laki yang kedua matanya mulai berkaca-kaca. Lalu pada wanita berjongkok di hadapan anak laki-lakinya, mengusap air mata yang membasahi wajah anak itu, lalu membisikkan permohonan maaf.

Laki-laki itu sepertinya tahu aku memerhatikannya. Dia tersenyum padaku seraya mengangkat kedua bahunya. Aku membalas senyumannya.

"Terima kasih," kataku tanpa suara. Dia mengangguk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil