Sebuah Gambar dan Empat Kepala




"Ini bukannya teman SMA kita dulu ya?" seru seorang perempuan berkemeja hitam. Dia menyorongkan ponsel ke tengah meja, membiarkan ketiga temannya ikut melihat gambar yang ada di sana.

"Eh iya. Itu Risna kan?" sambut temannya yang memakai dress warna hijau.

"Mana? Mana?" tanya dua temannya yang lain bersamaan, seorang berkaos biru dan seorang lagi memakai dress merah muda.

"Wuuih.. Ini suami ama anaknya? Seneng ya dia sudah punya keluarga kecilnya sendiri," komentar si kaos biru. "Ganteng ih suaminya. Keliatan muka-muka orang kaya. Nggak kaya yang di rumah. Coba suamiku kayak gitu.. Kupamerin terus.."

"Udah punya mobil dia. Makmur pasti dia," sambut si dress hijau. "Orang kaya dia sekarang. Aku udah kerja banting tulang, sampe lembur, nggak kaya kaya juga."

"Iya. Coba lihat dong. Tambah cantik aja tu anak.. Padahal dulu kan kurus banget, nggak terurus," komentar si dress merah muda. "Ah tapi dia memang aslinya cantik sih. Jadi tinggal didempul dikit aja langsung deh keliatan cantiknya. Lah kalo aku, muka pas-pasan gini. Mau disalonin juga udah mentok."

Perempuan berkemeja hitam itu terdiam sesaat. Kedua matanya memandangi ketiga temannya secara bergantian lalu menarik kembali ponselnya dan memandangi layarnya. "Hebat ya dia," katanya. "Dia sudah menutup auratnya. Sudah melakukan kewajibannya sebagai perempuan," katanya lagi sebelum kemudian menghela napas. "Mungkin salah kita di sini. Kita ini terlalu sibuk mengejar dunia. Sibuk kerja ngumpulin harta. Sibuk mempercantik diri demi bisa disebut cantik oleh manusia. Sibuk mengejar sosok yang kita anggap sempurna sebagai pendamping kita. Sempurna untuk ukuran manusia, ukuran dunia. Kita terlalaikan tentang hidup kita yang berikutnya. Kita lupa memperbaiki diri dan menyiapkan bekal. Kita lupa bersyukur dan merasa cukup dengan apa yang kita punya."

Mereka lantas terdiam.

Satu gambar, empat kepala. Apa yang mereka lihat sebenarnya sama, satu gambar yang sama. Tapi ternyata yang benar-benar dilihat oleh otak mereka berbeda-beda. Bagaimana jika yang melihat ribuan orang, ada kemungkinan persepsi yang muncul juga berbeda-beda. Akan tergantung dari apa yang penting bagi mereka, pada apa yang menjadi perhatian utama dalam hidup mereka, pada bagaimana mereka biasa melakukan penilaian pada apa yang ada di hidupnya. Ah, manusia..

Aku menegakkan tubuh ketika seorang pelanggan mendatangiku dan memesan minuman. Aku menyambutnya dengan senyuman. Melarikan diri. Malu sebenarnya. Aku tak berbeda dari mereka. Terlalu sibuk mengejar dunia, lupa pada hidupku yang ke dua.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil