Tato Sepasang Sayap

Pinterest


Pintu terbuka. Lonceng kecil yang sengaja kupasang di atasnya berbunyi. Aku menoleh, lalu menunjukkan senyum terbaikku pada seorang wanita yang baru saja melangkah masuk itu.

"Selamat malam," sapaku dengan nada ramah yang sudah lama kulatih.

"Macchiato," katanya sebelum kemudian membungkuk dan menjelajahi rak display di sebelahku dengan kedua matanya. "Muffin yang bluberi. Satu," katanya lagi.

Aku mengangguk, mencatat pesanannya dengan teliti, lalu mempersilakan dia duduk.

"Liat apa?"

Telingaku menangkap pertanyaan itu sewaktu aku mengeluarkan muffin dari rak display. Aku melirik dua orang wanita yang duduk di meja kecil depan kasir.

"Kamu lihat perempuan itu?" tanya wanita pertama yang memakai dress berwarna toska seraya mengekorkan pandangannya pada wanita yang baru saja memesan minuman padaku.

"Kenapa memangnya?" tanya temannya.

"Dia pasti bukan perempuan baik-baik."

"Tau dari mana?"

"Lihat saja tato sepasang sayap besar yang ada di punggung bagian atasnya itu. Lalu kakinya.. Kau lihat kan kakinya penuh dengan tato juga? Perempuan kok tatoan. Terus, coba lihat.. lihat.. Coba kamu tunggu. Pasti dia juga merokok. Pasti dia juga suka mabuk itu. Sudah pasti itu. Mana ada perempuan baik-baik yang tatoan seperti itu?"

"Don't judge a book by its cover," kata temannya.

"Halah."

"Kok malah halah?" tanya temannya kalem. "Belum tentu loh nanti kita ini yang masuk surga dan dia yang masuk neraka. Belum tentu kita ini amalannya lebih banyak daripada dia. Siapa tahu dia sudah bertobat, atau sedang di jalannya untuk bertobat. Iya, kan?"

Wanita yang memakai dress warna toska itu mencibirkan bibirnya dan mengangkat bahu.

"Bisa jadi, loh," lanjut temannya. "Bisa jadi kita ini karena merasa lebih bersih, lantas merasa sombong, merasa lebih dekat dengan Tuhan. Padahal otak kita ini isinya hanya kebencian dan rasa selalu lebih baik dari orang lain."

Tetap tak ada tanggapan.

"Tapi beneran loh," temannya masih melanjutkan. "Malah jangan-jangan beneran kita nanti yang masuk neraka karena sudah ngomongin dia, ngejelek-jelekin dia. Padahal kenal aja engga. Kalo dia orang baik-baik gimana? Cuman penampilannya aja yang unik, tapi hati, pikiran, sama perilakunya baik, bisa aja kan? Kalo kayak gitu, gimana coba? Apa nggak fitnah itu nanti jatuhnya? Dosa."

Wanita yang memakai dress warna toska itu menyilangkan kedua tangannya di dada. "Tapi kan bisa aja bener," katanya.

"Kalo pun semisal yang kita omongin tentang dia bener, jatuhnya gibah. Dosa juga, bu. Mending nggak usah dibahas."

Tak ada tanggapan.

"Lagian emangnya kita ini udah sesempurna apa sih sampe merasa berhak menghakimi seseorang hanya berdasarkan hasil asumsi pribadi? Ah iya. Maaf aku lupa, sepertinya memang otak kita ini sudah perlu direparasi."

Aku tersenyum, melewati mereka sambil membawakan secangkir kopi dan sebuah muffin untuk wanita yang duduk di teras sana.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil