Tangan Bagus

photo source: pinterest


Malam sudah tua di luar. Tapi perempuan itu masih duduk di meja makan. Kedua tangannya dia letakkan di atas meja. Selesai makan malam tadi dia merasakan ada yang tak beres dengan tangan kirinya. Tangan kirinya menjadi lemas, lalu sekarang tak mau digerakkan.

"Apa aku terkena stroke?" tanyanya dengan frustrasi pada dirinya sendiri.

"Tidak. Kau tidak terkena stroke."

Perempuan itu memandangi tangan kirinya, yakin sekali suara itu berasal dari sana. Tangannya berbicara.

"Ka.. kau bisa berbicara?" tanyanya dengan takut.

"Ya, kami bisa bicara. Seluruh anggota tubuhmu bisa bicara. Hanya saja, seharusnya kami tak berbicara padamu. Kami hanya akan berbicara ketika kau sudah mati nanti lalu kami dimintai pertanggungjawaban."

"Tap... tapi..."

"Tapi ya. Aku berbicara padamu sekarang. Aku sudah tak tahan lagi," kata tangan kiri.

"Tak tahan apa? Apa aku sudah terlalu banyak memaksamu bekerja?"

"Bukan itu. Aku tak tahan pada betapa menyakitkannya kata-katamu."

"Kata.... kata?"

"Ya. Aku tak tahan kau terus menerus menyebutku sebagai tangan jelek!"

"Apa? Kapan?"

"Memangnya kau tak ingat? Setiap kali anakmu menerima pemberian menggunakanku, kamu pasti mengingatkan 'Adik, kalo nerima pakai tangan bagus, dong. Jangan pakai tangan jelek!' begitu. Terus anakmu pasti akan menggantikanku dengan tangan kanannya. Apa namanya kalo bukan menyebutku sebagai tangan jelek?"

Perempuan itu terdiam.

"Lalu, ingat tidak sewaktu kau tahu anak pertamamu dulu kidal? Kau ingat kan bagaimana kau berusaha membuat anakmu tak kidal lagi, mengantar anakmu ke terapis, memaksa anakmu untuk menulis memakai tangan kanan. Memaksa. Malu katamu kalo punya anak yang kidal. Malu kalo anakmu harus melakukan lebih banyak hal dengan tangan kiri. Ya karena itu, karena menurutmu tangan kiri itu tangan jelek. Jika alasanmu karena kau ingin agar anakmu mengikuti sunnah, silakan. Aku tak apa. Memang harus seperti itu. Tapi ini karena kau malu! Itu menyakitkan, tahu?!"

"Tidak, bukan seperti itu..."

"Padahal, apa sih yang tak kami berikan padamu, pada kalian, manusia? Bukannya kami, para tangan kiri ini, juga membantu meringankan pekerjaan kalian? Bukannya kalian juga akan kesulitan jika kami tak ada? Kami bahkan rela menyapu bekas tahi kalian, membersihkan pantat kalian, membantu membersihkan najis kalian. Apa tak bisa kalian hargai kami sedikit saja?"

Perempuan itu kembali diam. Kedua matanya menatap tangan kirinya yang sedang memuntahkan kata-kata.

"Iya, sih. Setan itu makan pakai tangan kiri. Memang betul. Memang betul untuk hal-hal yang baik disunnahkan menggunakan tangan kanan, makan dan minum, misalnya. Lalu untuk membersihkan najis, memang disunnahkan menggunakan tangan kiri. Tapi tak lantas tangan kanan itu tangan bagus dan tangan kiri itu tangan jelek, kan?"

Kemudian hening. Tak ada kata. Tak ada suara kecuali detika jam dinding. Sesaat kemudian, dengan takut-takut, perempuan itu membuka mulutnya.

"Baiklah, aku minta maaf. Jadi aku harus bagaimana?" tanyanya.

"Mauku sederhana saja. Pakai kata yang tak menyakitkan ketika menasehati. Kalau anakmu menerima, makan, atau minum pakai tangan kiri, kan tinggal bilang saja, 'Pakai tangan kanan ya, Nak.', begitu. Tak susah kan? Tak harus menggunakan kata-kata merendahkan seperti biasanya itu. Kami tahu kedudukan kami, tahu pekerjaan kami. Jadi tolong lah dihargai sedikit."

"Iya. Baiklah."

"Awas jika kau ulangi lagi!"

Perempuan itu terbangun dengan napas terengah-engah. Tangan kirinya kesemutan. Dia tertidur di meja makan dan menggunakan tangan kirinya sebagai bantal.


Bahan bacaan:
Fiqih Menggunakan Tangan Kanan
Kebiasaan Kidal

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil