The Scars

Photo source: carcanyon.com



Satu tanda kecoklatan memanjang di telapak tangan kanan, di bawah ibu jari.

Kekeraskepalaan.

"Mbok nggak usah maen di situ, Dek." Untuk ke sekian kalinya ibuk mengingatkan sewaktu aku asyik bermain di tempat gantungan jemuran yang terbuat dari besi.

Untuk ke sekian kalinya aku abai. Lalu tak lama aku terpeleset dan ketika tangan kananku berusaha meraih apa saja yang mungkin untuk bisa menyelamatkan diri, sebuah besi berujung agak tajam yang biasanya digantungi hanger pakaian itu menancap di telapak kananku lalu memaksa tanganku mengelupas kulitnya. Ada luka memanjang di bawah ibu jari tangan kanan dan sisa kulit yang tertinggal di ujung gantungan besi itu.

------------

Sebuah tanda keperakan memanjang, melintang di bawah lutut kiri.

Kecerobohan.

"Lihat, lihat! Langit bagus sekali jika terlihat terbalik seperti ini!" teriak seorang anak laki-laki dari atas traktor.

Ladang tebu di depan rumah sedang digarap, kudengar akan dijadikan sawah dan ditanami padi. Para penggarapnya menitipkan traktor besar mereka di depan rumah kami, di tepi jalan dekat sawah. Kami senang bermain di atasnya, berpura-pura mengendarai tank perang dengannya. Atau hanya sekedar menghabiskan waktu saja duduk di atasnya.

Anak laki-laki itu menarikku naik ke atas traktor, memintaku duduk di sisinya, mencoba apa yang baru saja dicobanya. Seharusnya aku lebih berhati-hati. Kakiku terpeleset, membuat tubuhku limbung lalu terjatuh dari atas traktor. Tangan kecil anak laki-laki itu tak sempat menyelamatkanku.

Darah mengucur dari luka melintang di bawah lutut kiri. Lumayan dalam.

----------

Sebuah tanda kemerahan di pipi kanan, lumayan luas, akan terlihat ketika kulit wajah ini terpapar sinar matahari dan sebuah bekas luka cukup besar di tungkai kanan yang kulitnya sedikit mati rasa.

Kesembronoan.

Enam puluh kilometer per jam. Aku baru saja melirik speedometer motorku. Terlalu cepat untuk jalan di dekat rel kereta api yang lumayan sempit ini. Tapi tenggang waktu pengumpulan tugas yang pagi tadi di-sms-kan padaku sudah hampir habis. Aku harus mengejarnya. Tak apa kali ini saja aku mengebut. Lagipula, hanya enam puluh kilometer per jam.

Lalu motor itu mendahuluiku dan tiba-tiba mengambil arah kiri, menepi. Aku tak mau menabraknya. Terlalu dekat kurasa untuk bisa menekan rem. Aku membanting stir ke kanan. Yang aku tak tahu, dari arah depan sebuah mobil melaju cukup kencang.

Suara tabrakan itu terdengar cukup keras. Hukum gerak Newton bekerja. Tubuhku terlempar, mendarat tak jauh dari motorku yanh bagian depannya remuk, berhenti di rerumputan setelah terseret di aspal. Mika helmku terbelah, tak bisa lagi sepenuhnya melindungi wajahku. Untungnya tak ada benturan kepala yang berarti.

"Kau tak apa-apa?" tanya seorang laki-laki yang membantuku berdiri. Wajahnya begitu khawatir.

Wajahku berlumuran darah dari luka besar di pipi kanan, di bawah hidung, bibir, dan dagu. Dia pikir darah itu keluar dari hidungku. Untungnya tidak. Lalu celana panjangku, seragam putihku, ada bercak darah yang semakin lama semakin meluas di tungkai kanan. Semuanya adalah hasil meluncur di aspal.

-----------

Ada cerita di setiap bekas luka yang ada. Pembelajaran. Seringnya, hasil dari kebodohan diri yang menggenang di dalam kepala dan menjadi pengingat untuk tak mengangi kesalahan yang sama.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil