Duit Sumbangan

Image source: http://syafrianto.blogspot.co.id


"Udah nyiapin duit sumbangan?"

"Udah."

"Nyumbang berapa?"

"Sepuluh ribu."

"Haaah.. Sepuluh ribu?"

"Kenapa memangnya?"

"Malu laah. Dia itu orang terhormat. Pejabat. Masak kamu cuman nyumbang segitu. Seratus ribu laah minimal."

"Loh, bukannya justru karena dia pejabat, dia orang berada, makanya dia tak terlalu membutuhkan duit sumbangan kita?"

"Ya kan kasihan yang punya hajatan. Makanan yang kamu makan di sana nanti harganya pasti lebih dari itu. Kasian nanti mereka rugi."

"Rugi? Memangnya ini jual beli? Ini kan acara syukuran, katanya. Sebagai ungkapan syukurnya mereka, makanya mereka mengundang kita datang. Tak menyiapkan uang sumbangan juga seharusnya tak apa."

"Gayamu. Kayak kalo kamu bikin acara nggak ngarep duit sumbangan balik aja."

"Kok jadi gayaa? Ya bukan tentang gaya gayaan. Ya memang kan seharusnya begitu. Ketika sudah berniat untuk syukuran, ya yang ikhlas, jangan mengharap sumbangan. Terus, kita ini memang ya.. Sering sekali salah tempat. Kalau menyiapkan uang sumbangan buat orang syukuran, orang seneng-seneng, kita bingung mau ngasih berapa. Nyiapin duitnya seringnya banyak. Apalagi kalau yang punya hajat orang kaya. Semakin berada yang mengundang, sumbangan kita akan semakin besar. Padahal kan sebenarnya yang membutuhkan sumbangan itu kan yang kondisi ekonominya lebih lemah. Kita ini juga kalo nyiapin uang sumbangan untuk uang duka juga seadanya. Padahal yang seperti ini kan membutuhkan uang lebih banyak untuk biaya ini itu, ini keadaan musibah. Ah, tapi yah.."

"Ah, panjangnya omonganmu. Tak paham aku. Sudah, siapkan dulu sumbanganmu. Seratus ribulah. Harga diri taruhannya. Masak iya kamu cuman nyumbang sepuluh ribu. Cepat!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil