Permisi

image source: http://www.ekaenlinea.com



Aku berdiri mengamati manusia-manusia yang saling berjubelan di antara rak-rak berisi barang dagangan.

Di dekat rak berisi sabun mandi, seorang wanita sedang berdiri memandangi susunan sabun mandi batang. Sesekali, dia mengambil satu sabun mandi, mencium aromanya, lalu meletakkan benda itu kembali ke tampatnya. Di belakangnya, seorang wanita yang lain melakukan hal serupa pada botol-botol sabun cair, menciumi aromanya. Mungkin, mereka sedang berusaha menemukan sabun mandi dengan aroma yang pas. Lalu, tak lama, seorang wanita datang dengan troli berisi belanjaan. Mungkin, dia juga ingin mengambil sabun mandi. Gang di antara rak itu ternyata tak cukup besar untuk wanita ketiga dan troli belanjaannya.

Aku menunggu, ingin tahu apa yang selanjutnya terjadi.

Troli itu berhenti di ujung gang. Wanita ketiga menunggu. Wajahnya mulai terlihat terlipat-lipat. Akses masuk ke gang itu terhalang dua wanita sebelumnya. Tak lama, dia memilih memundurkan troli lalu pergi sambil mendengus kesal. Dua orang wanita yang ada di sana langsung menoleh, terkejut, tak paham, ingin tahu juga mengapa wanita ketiga itu tiba-tiba mendengus kesal pada mereka.

Di dekat rak makanan instan, beberapa orang berjubel di sana. Seorang laki-laki dengan keranjang belanja berwarna biru di tangan kiri melangkah cepat menuju tempat itu, berusaha memasuki jubelan orang di sana.

"Permisi," katanya ketika seorang wanita menghalangi jalannya. Tapi, wanita itu tak berpindah. Entah tak mendengar atau memang tak peduli.

Laki-laki itu tersenyum kecut. Lalu sekali lagi mencoba. "Permisi," katanya dengan suara yang lebih keras.

Kali ini, wanita yang ada di hadapannya menoleh. Laki-laki itu tersenyum, berusaha meminta jalan tanpa kata. Wanita itu akhirnya memepetkan tubuhnya ke rak, memberikan jalan. Tapi, entah mengapa wajahnya masam. Padahal laki-laki itu meminta dengan sopan. Padahal, walaupun sebelumnya senyuman laki-laki itu sempat masam, dia sudah mengubahnya dengan senyuman terbaiknya ketika wanita itu menoleh.

Di dekat kasir, jubelan manusia lebih padat lagi. Di depan enam kasir yang dibuka, manusia-manusia dan keranjangnya yang penuh belanjaan mengular. Panjang. Wajah-wajah itu diisi ketidaksabaran. Menunggu memang tak menyenangkan. Lalu, tiba-tiba, di antara antrian itu, seorang wanita dengan keranjang belanjaan di tangan berusaha menembus.

"Permisi," katanya. "Permisi," katanya lagi. Kemudian dia mengucapkan kata yang sama ketika melangkah di antara orang-orang yang mengantri.

Orang-orang itu menoleh, memberi jalan ketika mendengar permintaan itu. Tapi, wajah-wajah penuh ketidaksabaran mereka berubah berang sewaktu tahu bahwa wanita yang meminta jalan tadi ternyata menyerobot antrian, lalu bergegas pergi begitu dilayani.

Wow. Satu kata itu ternyata bisa membuat begitu banyak cerita. Tentang mereka yang tak mengenalnya, tentang mereka yang mengenal tapi enggan mempedulikannya, tentang mereka yang menyalahgunakannya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil