Tahan Diri



"Dek, cukup. Tak baik mengolok-olok begitu. Bukannya Alloh sudah berfirman 'Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim' [1]. Apa kamu lupa?" Nada suaramu begitu tenang sewaktu mengatakan itu.

Aku melirikmu, meninggalkan layar ponsel yang masih menyala dna menunjukkan berita yang kubagikan di linimasa media sosialku barusan. Kedua matamu menatapku. Tak ada amarah.

"Kenapa memangnya? Aku tak mengolok-olok, tak menyebut mereka bodoh. Aku tak menyebut mereka dengan nama buruk. Lagipula, jika pun aku mengolok-olok, apa salahnya? Toh mereka melakukan hal yang sama," belaku.

"Ya memang. Tapi kau membagikan berita tentang mereka lalu menertawakannya. Kau mengajak orang lain ikut menertawakannya. Apa namanya jika bukan mengolok-olok?"

"Aaah.. Mas ini.. Jangan-jangan mas ini sebenarnya pengikut yang satunya ya? Mas juga kelompok mereka, makanya tak terima jika kubagikan berita itu? Berita itu benar, asal mas tau."

"Astaghfirullah.. Istighfar, Dek. Jangan sampai rasa suka dan bencimu pada suatu hal, membutakan hatimu. Karena bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. [2]. Apa kamu lupa?" tanyamu lagi.

"Apa sih mas ini?" Aku mulai gerah dengan ceramahmu.

"Memangnya apa yang kamu dapatkan dengan menyebarkan berita itu dan menertawakan mereka? Kamu merasa puas? Kamu merasa lebih baik dari mereka?" Nada suaramu masih sehalus tadi. Masih tak kurasakan gejolak emosi.

Kamu mengambil jeda, menungguku bereaksi. Tapi, aku sedang tak mau mengatakan apa-apa. Tak ingin kamu tahu bahwa kata-katamu ada benarnya. Ya, aku merasa puas bisa menertawakan mereka. Aku merasa mereka lebih bodoh dan aku lebih baik dari mereka.

"Jika benar begitu, hati-hati. Karena tak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi. Dan sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain [3]. Apa kamu lupa?“

Nada suaramu tak berubah. Masih juga sehalus sebelumnya.

"Ya jadi maunya mas aku bagaimana? Tak boleh aku menyukai dia? Mengidolakannya? Memilihnya?"

"Boleh. Itu hakmu. Jika kamu yakin dia baik, pilih dia. Tapi tidak dengan cara menjelekkan lawannya. Kita orang beragama. Agama kita sudah mengatur semua caranya. Agama kita jelas mengatur hukumnya. Aku cuma mau agar kamu tak lupa itu semua dan bahwa setiap hal yang kita lakukan, kita ucapkan, kita tuliskan, nanti akan ada perhitungannya."

#tahandiri

--------------
[1] QS. Al-Hujurat 49: 11
[2] QS. Al Baqarah: 216
[3] HR. Muslim no. 91

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil