Harta

Sukoharjo, Jawa Tengah (dokumen pribadi)


"Ayah ayah... Coba lihat. Tabunganku sudah banyak."

Buku tabungan itu disodorkan ke hadapan mukaku tepat setelah kami selesai berbuka puasa. Dan ya, untuk anak seumur itu, tabungannya terhitung banyak.

"Wah iya. Banyak. Uang dari mana ini, Kak?" tanyaku.

"Uang saku yang ayah kasih. Kan aku ga pernah pakai buat jajan. Kusimpan semua. Banyak, kan?" katanya dengan bangga.

"Iyaa.. Pinter anak ayah, masih kecil sudah bisa berhemat dan nabung."

Aku mengacak puncak kepalanya. Dia lantas bergegas masuk ke dalam kamar dengan langkah sedikit melompat-lompat.

"Kamu juga, Dek. Harusnya bisa niru kakak. Bisa nabung. Uangnya disimpan, biar banyak," kataku pada si bungsu yang sedang menonton tv.

Gadis kecilku itu sesaat berpaling dari tv lalu menatapku.

"Tapi adik ga pengen uang banyak, Ayah," jawabnya.

"Memangnya adik maunya apa?"

"Adik mau surga."

"Surga?"

"Iya. Adik mau surga. Surga buat ayah. Jadi uangnya adik masukkan ke kotak sumbangan untuk masjid, untuk rumah yatim, untuk panti jompo... Untuk saudara-saudara kita yang lebih butuh."

Aku tak tahu mau mengatakan apa.

"Barangsiapa yang berinfak dengan sepasang hartanya di jalan Allah maka ia akan dipanggil dari pintu-pintu surga, ‘Hai hamba Allah, inilah kebaikan.’[1]," kata gadis kecilku itu kemudian.

Di dalam kepalaku tiba-tiba berputar-putar sebuah surat yang kubaca sewaktu magrib tadi.

...Celakalah para pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung.. [2]

...sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthomah... [3]

Aku lalai. Aku menghafalnya di luar kepala, tapi aku lalai. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali kuinfakkan hartaku. Ya Alloh, aku benar-benar lalai.

#harta #30CeritaRamadan2019
Sukoharjo, 18 Mei 2019


[1] HR Bukhari dan Muslim
[2] QS 104: 1-2
[3] QS 104: 4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil