Perangkap

Monumen 45 Banjarsari, Surakarta, Jawa Tengah (dokumen pribadi)


"Kudengar kau mengajak manusia buat rajin salat, ya?"

"Iya."

"Kau pengaruhi juga mereka agar rajin mengaji dan datang ke kajian di masjid?"

"Iya."

"Kau minta mereka menasihati tentang kebaikan pada saudaranya?"

"Tentu saja."

"Apa kau sudah sinting? Lupa kau apa tujuan utama kita di sini?"

"Tidak."

"Lalu kenapa malah kau ajak mereka kepada kebaikan?"

"Jangan salah. Aku memang mengajak mereka untuk rajin salat - usahakan biar tepat waktu, rajin membaca kitab mereka, rajin juga ke pengajian. Tapi, jika mereka sudah melakukannya, kubisikkan juga ke hati mereka bahwa mereka lebih baik dari saudaranya. Benar kusuruh mereka menasihati saudaranya, tapi kubisikkan ke dalam hatinya agar dia menganggap saudaranya itu tak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Kubisikkan rasa bangga bahwa dia lebih baik, bahwa salatnya tepat waktu, lantunan ayat suci-nya merdu dan benar, dan bahwa dia selalu menghadiri majelis ilmu."

"Aku tak paham."

"Ah, masa kau tak paham? Coba kau cerna lagi kata-kataku tadi. Merasa lebih baik, bangga terhadap dirinya sendiri, meremehkan orang lain."

"Aaaah.. kesombongan."

"Cerdas. Ingat kan apa yang membuat leluhur kita diusir dari surga?"

"Tentu."

"Tahu kan Nabi mereka bersabda bahwa tak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walaupun hanya sebesar biji sawi?"

"Aaah.. memang. Cerdas sekali kau ini. Hahahaha.. Ya ya ya. Aku tahu kau tak akan pernah mengecewakanku."

Aku membekap mulut, buru-buru melangkah pergi dari taman bermain yang sore ini mulai sepi, tak berani menoleh lagi. Pandanganku mulai kabur oleh air mata. Ternyata aku sudah jatuh di dalam perangkap mereka.

Sukoharjo, 7 Mei 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil