Pesan

Bukit Sentono Genthong, Pacitan, Jawa Timur (dokumen pribadi)


"Dari tadi kok sibuk terus sama hape. Ada apa?"

Aku mengangkat wajah lalu meringis. "Ini.. cuma ngirim pesan aja, kok, Mbak," jawabku sebelum kemudian kembali menatap layar ponsel.

"Sama siapa hayooo?" Mbak menggodaku, pura-pura berusaha melihat layar ponselku.

"Halaah. ga ada yang rahasia kok. Inii.. liat ajaa.." Aku menyorongkan ponsel ke arahnya.

Mbak tertawa. Tapi lantas dengan cepat dia menghentikan tawanya dan benar-benar membaca pesan yang sedang berusaha aku kirimkan.

"Bermaafan sebelum puasa? Ini yang kamu kirimkan, Dek?"

"Heeh. Kan besok udah puasa, Mbak. Kalo ga maafan, nanti puasanya ga diterima. Kan sayang.."

"Kata siapa?"

"Ini loh ada hadist-nya. Sahih loh, Mbak," kataku berusaha meyakinkan.

Mbak membaca setiap kata dalam pesan itu dengan saksama. Tak lama, ponsel itu diangsurkan kembali padaku.

"Sebenarnya ini pesannya bagus. Tapi, masalahnya, hadist yang dituliskan di sini ini ga ada. Palsu. Ada hadist yang serupa, tapi tak sama dan tak ada hubungannya dengan Ramadan," kata Mbak.

Jariku langsung berhenti mengetuk layar ponsel.

"Coba jangan kamu lanjutin dulu itu ngirim pesannya. Nanti kita pelajari lagi ya? Dikroscek dulu. Apalagi ini soal agama loh, Dek. Ga baek sembarangan membagikan tanpa memahami. Apalagi hanya membagikan hasil kopian yang ga jelas sumbernya seperti ini."

Aku masih mematung, teringat banyaknya pesan yang sudah kukirim, banyaknya kebohongan yang baru saja kusebarkan, dan tak bisa membayangkan berapa banyak lagi dari banyak orang yang sudah kukirimi pesan tadi yang sudah mengirimkan pesan ini ke orang lainnya lagi. Duh.

Sukoharjo, 8 Mei 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil