Cerita Cita-Cita



"Kalau sudah besar mau jadi apa?" tanya wanita itu.

Aku, yang waktu itu bahkan belum mengenyam pendidikan formal, dengan cepat menjawab, "Dokter!"

Lalu wajah wanita itu dipenuhi senyuman, kedua matanya berisi ketakjuban. Seolah jawaban yang baru saja kuberikan adalah sebuah cita-cita yang sangat mulia. Seolah aku pada umur segitu sudah bisa memastikan masa depanku. Kenyataannya, jawaban itu hanya sekedar pilihan jawaban yang ditanamkan secara bertahun-tahun ke dalam kepalaku, lalu mengendap di sana.

"Belajar yang pinter, biar nanti jadi dokter." Begitu seringnya orang tua-tua yang ada di kehidupanku berpesan setiap kali bertemu. Pun setiap kali aku diminta orang tuaku untuk meminta doa restu pada mereka di hari raya. Makanya, itu juga yang akhirnya tertanam di kepala, itu juga satu-satunya alasan mengapa profesi itu yang akhirnya menjadi cita-cita.

Ya, bukan karena aku memang ingin menjadi dokter, mengabdi untuk orang banyak, atau memiliki keinginan bekerja untuk menyehatkan. Bukan. Lebih karena jawaban itulah yang ingin mereka dengar. Karena binar takjub di mata mereka setiap kali mendengar jawabanku. Karena itu yang selalu dipesankan oleh orang-orang tua. Bukan keinginanku.

Lalu apa yang kuinginkan sebenarnya? Entah. Aku tak pernah tahu pasti ingin menjadi apa ketika sudah dewasa. Di kepalaku, yang pasti, aku hanya ingin menyelesaikan sekolah, bekerja, mendapat penghasilan untuk bisa hidup sendiri, menikah, berkeluarga, membesarkan anak, naik haji, lalu mati. Sesederhana itu. Apa saja pekerjaannya asalkan halal.

Sewaktu SMP aku mulai suka menulis. Cerpen-cerpen roman picisan remaja. Aku ingat pertama kali iseng menulis di buku tulis berukuran B5 dengan sampul warna hijau. Iya, semua cerita kutulis tangan. Total ada sekitar tujuh atau delapan cerpen dalam satu buku itu. Lupa ada berapa tepatnya. Lalu berlanjut di buku kedua, ketiga, juga di lembaran-lembaran kertas yang biasanya kubuat di tengah-tengah pelajaran. Pembacanya tak banyak, hanya teman-teman dekat saja. Pernah sekali mengirimkan naskah ke majalah sekolah dan majalah remaja, tak ada yang lolos. Baru kemudian di SMA, sewaktu sudah ada komputer di rumah, semua cerita kuketik di komputer, kukumpulkan semua hasil tulisan, dan iseng mengirim lagi ke koran lokal. Lumayan, kali itu satu cerpen dimuat dan menghasilkan uang honor yang lebih dari cukup untuk jajan. Mulai dari situ, aku semakin tertarik untuk menulis. Menulis fiksi lebih tepatnya dan mulai berpikir setelah lulus nanti akan melanjutkan ke jurusan sastra saja. Tapi, sewaktu rencana itu kusampaikan ke orang tua, komentarnya langsung membuat ciut, "Kamu mau kuliah di sastra itu nanti lulus mau jadi apa?". Komentar disampaikan bukan dengan nada tanya tentunya, tapi... yah, tahu sendiri lah. Oh tidak, aku tidak menyalahkan beliau karena menanyakan hal tersebut. Bagi orang tua di keluarga besar yang notabene hampir semua adalah pegawai, yang terbayang dari jurusan sastra adalah pekerja seni yang pendapatannya tak pasti, tak bisa diharapkan, jelas bukan pekerjaan yang aman. Salahku adalah sebelum mengajukan itu, aku tak mempelajari dulu kemungkinan pilihan karirnya apa setelah lulus nanti, akan seperti apa pekerjaannya. Jadi ya jelas gagal meyakinkan orang tua.

Dalam kondisi tidak tahu mau ke mana, aku akhirnya mengambil semua kesempatan untuk kuliah. Sudahlah, apa saja yang penting kuliah. Jadilah aku mendaftar kedokteran sesuai keinginan orang tua, hubungan internasional, sastra Inggris, STAN, apa lagi ya? Untuk di negeri sepertinya hanya itu. Dan yak, semuanya lepas, tak ada yang lolos. Lalu kakak pertama memberikan informasi ada prodi baru di salah satu universitas swasta, sarjana keperawatan. Disuruhlah adiknya yang galau ini mendaftar ke sana saja. Ini jurusan yang sama sekali tidak ada di daftar cita-citaku. Aku iyakan saja. Toh memang sedang tak punya pilihan apa-apa. Dan akhirnya ke sanalah aku mendaftar, tak perlu pakai ujian masuk karena nilai SMA cukup untuk syarat masuk bebas ujian. Lagipula, setelah kupikir-pikir lagi, aku cukup mengenal baik dunia yang satu ini, sudah tahu pilihan karir apa yang menanti. Jadi ya begitulah, akhirnya masuk ke keperawatan juga. Sama dengan bapak, sama dengan ibuk, kakak pertama, adik-adik bapak, adik-adik ibuk juga. Setelah lulus, pekerjaan ada saja. Wong ya rezeki itu allah sudah atur semuanya. Tinggal dijemput, dijalani, sampai akhirnya sekarang ini. 

Setelah dewasa, bekerja, lalu sewaktu menghabiskan waktu dengan kawan-kawan lama, ternyata mereka juga mengalami hal yang sama. Ternyata sewaktu kecil kebanyakan juga ingin menjadi dokter karena ya itu, bisikan-bisikan lingkungan, lalu begitu SMA justru bingung dan akhirnya mengambil jurusan apa saja. Ya walaupun ada juga sih yang memang semenjak kecil sudah tahu ingin menjadi apa karena melihat orang tuanya dan ingin menjadi seperti mereka. Dan ya walaupun pada akhirnya semua hanya menginginkan untuk bisa bekerja, mendapat penghasilan, dan melanjutkan hidup. Oh dan yang penting orang tua bisa melihat mereka hidup mandiri, punya penghasilan, dan menjalankan tugasnya sebagai manusia. Begitu saja.

Jadi, apa inti dari tulisan ini? Tak ada. Hahahahaha.. seperti biasa, hanya ingin bercerita tentang apa saja, tak perlu ada pesan moral. Terlalu lelah mencari pesan moral dari cerita. Kalau ditanya apakah menikmati pekerjaan yang sekarang? Tentu. Walaupun kadang berat dan membuat stres, tapi dari pekerjaan ini kan bisa bertemu dengan teman-teman yang menyenangkan, guru-guru yang luar biasa, dan pengalaman-pengalaman yang super hebat. Pun kalau ditanya apakah tercapai semua yang dicita-citakan dulu, jawabanku sama. Tentu saja. Karena kalau dipikir-pikir lagi sekarang, cita-citaku bukan berbentuk suatu profesi, bukan karir, tapi lebih pada suatu kondisi: punya pekerjaan, bisa menjalankan peran dengan baik, dan menemukan lingkungan yang menyenangkan. After all, my life has been great. Alhamdulillah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil