Kalau Sudah Menikah Nanti

moritasari.com




"Ya pasti bisa datang tepat waktu terus, kan dia belum menikah. Coba saja lihat kalau dia sudah menikah nanti."

Cibiran semacam itu, entah untuk yang ke berapa kali, akhirnya saya dengar lagi. Ya, ini bukan pertama kalinya saya mendengar cibiran semacam itu ketika membahas tentang kedisiplinan. Lagi-lagi yang dijadikan alasan ketidakdisiplinan adalah status perkawinan. Ya, lagi. Makanya lagi-lagi saya membahas masalah ini, masalah yang sebenarnya pernah saya bahas di postingan saya sebelumnya.

Cibiran yang aneh? Tidak juga sebenarnya, apalagi jika mengingat fakta di lapangan bahwa memang kebanyakan pegawai yang sudah menikah lebih sering datang terlambat ke kantor, lebih tidak disiplin. Alasannya? Banyak. Mulai dari harus menyiapkan sarapan, mengurusi suami, memandikan anak, menyuapi anak sarapan, kemudian masih harus mengantar anak ke sekolah. Banyak.

Saya mengakui, tugas seorang perempuan memang bertambah ketika sudah menikah. Apalagi jika sudah memunyai anak. Tapi, lagi-lagi, saya tidak setuju jika kedisiplinan harus dikaitkan dengan semua itu. Disiplin adalah suatu sikap, suatu pilihan. Jika memang memilih untuk disiplin, pastinya akan berusaha untuk menjadi disiplin, apa pun kondisinya. Pastinya ada usaha. Jika lantas tak ada usaha dan bersembunyi di balik alasan tugas tambahan atau entah alasan lainnya, artinya memang tak ada keinginan untuk menjadi disiplin.

Mengapa saya berpikir demikian, karena saya sudah menemukan banyak sekali contoh manusia aneh. Aneh, karena tak ingin sama dengan manusia lainnya yang memilih untuk tak disiplin lalu bersembunyi di balik alasan status pernikahan. Di postingan tentang ini sebelumnya, saya pernah membahas tentang ibu saya yang sesibuk apa pun paginya, selalu sudah siap berangkat bekerja sebelum waktunya, selalu sudah siap di tempat kerja di jam kerjanya. Kali ini saya menemukan manusia jenis ini lagi. Teman sekantor saya, kak Anti, yang adalah seorang ibu dari anak perempuan yang masih SD. Saya tahu pasti kehidupan paginya cukup repot. Pasti dia juga harus memasak, mengurusi anaknya, mengurusi suaminya, dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Tapi tetap saja, setiap pukul tujuh pagi dia sudah selalu hadir di kantor. Hadir dalam makna yang sebenarnya, bukan hanya sidik jarinya. Waktu saya tanya bagaimana caranya memanajemen waktu paginya, dia bercerita bahwa setiap malam sebelum tidur, dia sudah menyiapkan bahan-bahan yang akan dia masak esok paginya. Jadi, setiap pagi dia akan bangun subuh dan tinggal memasak saja bahan yang sudah disiapkannya, lalu sarapan, dan bersiap-siap bekerja dan menyiapkan anaknya ke sekolah. Dan dia bisa. Lebih dari bisa. Dan itu membuat saya percaya bahwa disiplin itu bukan tentang sudah menikah atau belum, tapi tentang pilihan sebenarnya.

Ingin saya seperti itu, seperti dia. Kalau sudah menikah nanti, ingin saya, saya tetap bisa menjaga kedisiplinan saya. Ingin saya, saya tidak bersembunyi di balik alasan status pernikahan. Ingin saya, saya akan menjadi manusia yang lebih baik dari pada sekarang. Bukannya memang seperti itu fitrah pernikahan? Seharusnya membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya?

Membahas ini, saya jadi teringat cerita ibuk. Saya pernah bertanya kepada beliau, mengapa beliau selalu berusaha datang kerja tepat waktu padahal sebenarnya ketika beliau terlambat pun, orang-orang akan menganggapnya wajar, toh sudah menikah. Toh beliau adalah seorang perempuan yang memang memiliki kewajiban mengurus anak dan suami. Kata ibuk, sebenarnya inginnya ibuk juga seperti itu, tapi di setiap kali ibuk ingin melakukan itu, ibuk selalu teringat kata-kata bapak. Katanya, pernah suatu kali bapak mengingatkan ibuk, "tanamkan disiplin pada dirimu sendiri!". Kata-kata itu yang selalu menancap di kepala ibuk. Bapak tidak mau ibuk menjadi malas-malasan bekerja, menjadi tidak disiplin hanya karena sudah menikah. Kata bapak, orang tua itu akan selalu dicontoh oleh anak-anaknya, jadi bapak ingin bapak dan ibuk memberikan contoh yang baik, termasuk dalam kedisiplinan.

Ingin saya juga seperti itu. Kalau sudah menikah nanti, saya dan suami saling mengingatkan jika salah satu di antara kami mulai salah lalu berusaha bersembunyi di balik status. Kalau sudah menikah nanti, saya ingin bisa menjadi contoh yang baik baik anak-anak kami, sama seperti bapak dan ibuk. Saya tidak ingin anak-anak kami melihat kami, orang tuanya, sebagai orang-orang yang malas, yang tak disiplin, yang tak menghargai waktu dengan alasan yang tak layak dijadikan alasan. Kalau sudah menikah nanti, saya tak boleh menjadi lebih buruk dari saya yang sekarang. Saya harus menjadi lebih baik. Jika dengan menikah kita hanya akan menjadi manusia yang kualitasnya lebih buruk daripada sebelum menikah, lantas apa manfaatnya menikah? Untuk memenuhi kebutuhan biologis saja? Kalau iya, lalu apa bedanya manusia dengan binatang?

Jadi, apa benar disiplin itu ada hubungannya dengan status pernikahan? Tidak. Saya yakin sekali tidak ada hubungannya. Status pernikahan mungkin memengaruhi, tapi itu hanya terjadi jika manusianya membiarkan itu untuk terjadi. Di luar itu? Yah, itu hanya alasan yang tak layak dijadikan alasan.



invitetoislam.tumblr.com





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil